Jumat, 20 Oktober 2017

Zero Waste Adventure (Review)


Buku bacaan buatku jadi list wajib di setiap pergi dengan jarak yang terbilang jauh. Walaupun gapernah punya target berapa buku yang harus aku baca tiap tahunnya, tapi kalau nge trip tanpa bekal buku itu rasanya hampa banget. Salah satu rejeki kali ini datang melalui satu temen SMAku bernama Dhea yang biasa aku panggil Ndo, makasih ya untuk oleh olehnya! kesan pertamaku pas nerima buku ini "wow, covernya kece !" (ga bisa dipungkiri, untuk buku aku masih judge from the cover, and synopsis!, plus rekomendasi dari orang yang udah pernah baca)

itu dia! sinopsis jadi alasanku pengen me-review buku karya kak Siska, sejujurnya buku ini nyentil aku perihal atitude ketika jalan jalan terkait per-sampah-an. Ga mesti jalan jauh deh, aktifitas sehari hari yang indoor maupun outdoor, ah! ga mesti pas jalan aja ternyata, segala bentuk kebiasaan atau budaya itu selalu dimulai dari rumah.

Jadi, pas baca sinopsis yang ada dibelakang bukunya, tsah! beliau langsung bahas Gunung Rinjani dooong, Gunung yang sempet aku daki dua tahun lalu dan hingga detik ini aku masih rindu suasana dan segudang ceritanya. Berkat buku ini, aku jadi banyak menyesal tentang kelakuanku sama gunung cantik yang satu itu, tapi kalau ditanya mau muncak lagi kesana atau engga.. hm! aku belum bisa jawab sekarang, hehe.

Review buku kali ini, aku bahas per poin dengan illustrasi sederhanaku dengan pembuka terkait daki mendaki, suka naik gunung? berarti temen temen juga mesti paham ini :


Dengan tidak membawa benda benda yang berpotensi menjadi sampah dalam pendakian, dijamin tidak ada satu pun sampah yang dihasilkan (Kata Kak Siska)
Ga hanya mendaki, mau pergi ke tempat cantik manapun, kalau kita ninggalin sesuatu yang ga seharusnya, berarti ga kasih kesempatan yang lain untuk menikmati tempat tersebut. Beliau dan teman temannya mencontohkan gerakan Zero Waste ini dengan membawa tempat makan yang tidak sedikit, kegunaannya sangat jelas yaitu untuk menyimpan bahan bahan masakan selama pendakian. Belanja di pasar, dan langsung di masukkan ke tempat makan yang udah dibawa. Opini sederhana yang biasa muncul adalah "ribet amat, udah ada yang instan kan?" rumusnya adalah, semakin banyak kita beli yang instan, semakin instan juga gunung yang cantik berubah menjadi gunung sampah. Lalu muncul Opini klasik selanjutnya "kan nanti sampahnya dibakar, selesai", kalau temen2 ada kenalan anak Kimia atau Lingkungan, yuk, diskusi apa sih bahaya dari pembakaran sampah, khususnya pembakaran sampah plastik. Singkatnya, bakar sampah itu ga menyelesaikan masalah tapi bikin masalah baru. next,


Ada yang ikut Festival Tambora Menyapa Dunia? aku engga karena emang gaada ongkos saat itu. Aku pernah ikut jadi peserta di beberapa festival daerah dan penutupnya selalu sama ; sampah tergeletak dimana mana. Satu festival yang menurutku tanggung jawab karena punya rangkaian menyisir untuk kerjabakti adalah festival Dieng 2016, semoga semua acara juga punya agenda itu. Nah, balik lagi tentang acara "Tambora Menyapa Dunia", ternyata ada warga lokal yang menyampaikan surat kesedihannya akan dampak seusai acara, apalagi kalau bukan tentang sampah, sad. Isi suratnya sebagai berikut :

Pak Presiden Indonesia, perkenalkan, nama saya Farhan Perdana. Saya orang Dompu, Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pak Presiden, saya pribadi merasa bahwa kegiatan tahunan yang dilaksanakan berkaitan dengan peringatan meletusnya Gunung Tambora di daerah seputaran Taman Nasional Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat, baik di dalam maupun di pintu masuk, lebih banyak dampak buruknya ketimbang baiknya.

Pada acara Tambora menyapa Dunia tahun 2015 maupun Pesona Tambora tahun 2016, daerah ini menjadi penuh dengan sampah plastik
Hal ini dikarenakan, pusat kegiatan yang bertempat di sabana Doro Ncanga, dipenuhi oleh masyarakat kota yang datang dan menginap, bahkan naik ke kawasan konservasi. Seperti yang sudah umum ketahui, bahwasanya bangsa kita masih kurang kesadarannya dalam membuang sampah secara baik dan benar.
Hali ini diperparah dengan sangat minimnya tempat sampah di lokasi. Pun saya yakin, jika disediakan sekalipun, mental buang sampah sembarangan sudah mengakar terlalu dalam di mental bangsa Indonesia.


Ribet juga ya mendaki tanpa sampah, Mendaki tanpa sampah biasa aja kok. Malahan kalau sudah dilakukan dan dijadikan kebiasaan, dijamin serbapraktis. Justru bakal keterusan dengan sendirinya. Budaya membuang sampah itu karena gaya hidup yang selama ini serba instan (makanan instan, minuman instan, dan lain - lain) akibatnya menjadi konsumtif.
Part di atas adalah yang belum pernah aku coba sama sekali kalau naik gunung, makanya kenapa aku ngerasa kesel sama diri sendiri atas perlakuan ku dua tahun lalu ke Rinjani, dan ga pernah yakin lagi untuk naik gunung sampai sekarang.  Makanan instan selalu jadi list utama tiap mau kemana mana, bahkan sangat tabu untuk masak sendiri, pilah sampah, diet plastik dan lainnya, sampai pada akhirnya aku bertemu dengan teman teman Earth Hour Bandung dan Greeneration (hihi, kapan kapan aku mau bahas mereka deh)



setuju kak ! segala bentuk kebaikan itu ibadah, dan tergantung niat :"


Bicara tentang rumah, ada satu lirik lagu yang bilang home is where the heart is, jadi kalau aku sendiri menyimpulkan; Semua tempat yang emang kita niatkan datang kesana, disitulah rumah, mungkin bisa disambungkan dengan pribahasa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimana aku ada saat itu disanalah tanggung jawab menunggu. Mau itu untuk diri sendiri maupun untuk lingkungan sekitar. Semoga teman teman yang baca saat ini sepaham, haha. next,

Untuk temen temen yang pernah jalan bareng mungkin udah liat aku sering banget kehilangan tempat minum warna ungu, selang berapa menit hobinya nanya "eh, liat tumbler ungu aku ga?" seringnya pasti ada aja yang liat, karena faktanya aku yang cukup teledor dan lupa taruh dimana, dan ga jarang aku bener bener kehilangan tempat minum kalau udah keluar rumah (apalagi merek hits dikalangan ibu ibu, kalau udah ilang, pasti dimarahin)

botol bisa diisi ulang di rumah, tempat kerja, rumah teman, tukang jus, and anywhere place that you can find a way to reffil your bottle
Susah susah gampang untuk mulai kebiasaan satu ini, ada aja kadang alesan aku untuk ga bawa tumbler. Kalau ga rebutan sama adik, yaaa... malas. (jangan di tiru ya) Padahal keuntungan bawa tempat minum sendiri itu sangat jelas, selain tentang kebersihan, ya tentunya ga nyampah, karena dapat dipakai berulang kali tanpa percuma, dan heeeeemat! Dosa yang anteng banget aku lakukan hingga saat ini adalah, ketika pergi ke mini market sasaran pertamaku pasti kulkas berisikan minuman kemasan yang dingin, kalau ga kopi, teh, susu, mereka semua seolah memanggil untuk aku beli ... luluh lah hati ini


Gimana bisa? jelas sih kalau kitanya ga mulai dari niat, ya jelas ga bakal jalan. Konsumtif akan makanan dan minuman kemasan seolah satu hal yang ga perlu di besar besarkan, dan jatuhnya ga peduli sama dampak kedepannya. Ada hal yang aku pelajarin dari temen temen Earth Hour dan WWF dalam hal belanja yaitu #beliyangBaik. Setiap ingin membeli sesuatu, pertimbangkan dulu apakah kita bener bener butuh, atau sekedar ingin, apakah produk yang dibeli itu berasal dari perusahaan yang punya tanggung jawab lingkungan, atau sebaliknya. Kunci lainnya yaitu bijak, bukan berarti tidak menggunakannya sama sekali (tetap realistis ko,haha) kalau mau tahu lebih dalam, bisa di klik di link ini ya : #BeliyangBaik

Namun juga membuat warga setempat merasa senang dengan kedatangan kita, dengan membeli sesuatu dari mereka, dan itu tidak selalu harus berarti membeli cendera mata
Part diatas sebetulnya lebih ke membeli produk lokal ketimbang yang instan atau berkemasan. Jadi misal gini, temen temen mau mendaki, nah pasti butuh makanan kaya cemilan gitu kan, dari pada beli yang mecin-able lebih baik cari camilan disekitar lokasi sebelum mendaki, pasti banyak warga lokal yang menjajakan makanan ringan yang bisa langsung dimasukkan ke tempat makan sehingga bebas dari kemasan plastik, siapa tau nemu makanan khas daerah tersebut kan, itung itung belajar budaya jugaaa :D


Merasa bersalah ketika memproduksi sampah. Setidaknya dengan tidak memproduksi sampah, kita tidak menambah permasalahan.



Berikut point terakhir yang harus banget aku keep, dan harus diakui, ini sulit. Terimakasih kak Siska untuk bukunya, semoga aku terus berproses untuk aware sama diriku dan sekitar ;

Dengan tidak membeli banyak barang, hidup terasa lebih sederhana. Dan kalian tahu? kesederhanaan itu adalah kemewahan yang sebenarnya, dan memang benar apa kata Pramoedya Ananta Toer. Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini.



Alhamdulillah, sekian review dari Zero Waste Adventure yang bikin aku bolak balik baca untuk nandain part part favorite yang udah di jabarkan di atas. Kedepannya, kalau temen temen mau bukunya bisa banget dibeli di toko buku terdekat, tapi kalau ga nemu nemu mungkin kehabisan dan belum restock, kontak langsung aja kakaknya disini (semoga fast response). Btw, kalau kalian masuk ke lingkungan yang udah ngomongin "green lifestyle" mungkin bakal ketemu sama orang yang berpendapat bahwa sebetulnya sampah itu tidak ada, yang ada hanya manusia yang tidak mau memanfaatkan dengan baik apa yang sudah dia beli... dan aku belum masuk ke ranah opini itu sih, masih harus banyak belajaaaar! semangat!


JADI, ADAKAH BUKU YANG INGIN KALIAN REKOMENDASIKAN UNTUK AKU BACA SELANJUTNYA? 


2 komentar: